Humas Polda Riau dan Ditreskrimsus Buka Klarifikasi Resmi Kasus ITE IRT M: Bantah Isu Rp10 Juta

PEKANBARU — Senin, 8 Desember 2025. Tim media gabungan investigasi akhirnya mendapat ruang klarifikasi resmi dari Bidang Humas Polda Riau terkait polemik pemberitaan kasus dugaan pelanggaran UU ITE yang menjerat seorang ibu rumah tangga berinisial M. Pertemuan berlangsung sekira pukul 10.00 WIB di ruang Humas lantai 2 Mapolda Riau. Tim disambut oleh AKBP Rudi Samosir selaku perwakilan Bid Humas, mengingat Kabid Humas Kombes Pol Anom Karibianto, S.I.K. sedang menjalankan perjalanan dinas. Hadir pula Kasubdit Siber Ditreskrimsus Polda Riau dan penyidik Polwan, IPDA Danriani, S.H., yang menangani perkara tersebut.

 

Pertemuan tersebut berlangsung setelah pemberitaan mengenai sikap tidak responsif Humas Polda Riau menjadi sorotan luas publik dan media sosial, terutama setelah publikasi edisi Kamis, 4 Desember 2025, yang menyebut bahwa permintaan konfirmasi resmi dari tim media sejak 16 November hingga 4 Desember tidak pernah direspons. Lima kali upaya konfirmasi via telepon dan WhatsApp berakhir tanpa jawaban, meski kasus M telah viral dan menjadi perhatian publik nasional.

 

Dalam konferensi klarifikasi, AKBP Rudi Samosir membuka penyampaian dengan menjelaskan bahwa keterlambatan informasi kepada media disebabkan oleh tahapan proses penyidikan. Menurutnya, Humas tidak dapat serta-merta memberikan keterangan resmi tanpa dasar lengkap dari penyidik Ditreskrimsus. Ia menegaskan bahwa viralnya pemberitaan kasus M telah menjadi perhatian internal, dan klarifikasi digelar untuk meluruskan informasi yang berkembang.

 

Selanjutnya, Kasubdit V Siber KOMPOL Dany Andhika Karya Gita, S.I.K., M.H., memberikan penjelasan resmi perkembangan penanganan perkara. Disampaikan bahwa berkas penyidikan telah masuk pada tahap P-19 Kejaksaan, dan penyidik tengah melengkapi petunjuk yang diminta. Terkait status tersangka M, penyidik menegaskan tidak dilakukan penahanan lanjutan atas dasar pertimbangan kemanusiaan karena yang bersangkutan memiliki anak balita, sehingga diberlakukan wajib lapor setiap hari Kamis.

 

Menanggapi sorotan publik mengenai tiga terlapor, yakni Eci Yeryvita Panjaitan, Maya Sapitri, dan satu pihak lainnya, penyidik menjelaskan bahwa penahanan sementara hanya dilakukan terhadap Maya Sapitri selama 12 hari. Dua terlapor lainnya masih dalam proses pemanggilan dan pelacakan keberadaan, dengan upaya pencarian hingga ke wilayah Batam dan Perawang.

 

Isu paling krusial mengenai tudingan tidak diberikannya tembusan surat penahanan selama dua bulan pertama dibantah secara tegas oleh penyidik. Dalam klarifikasinya, IPDA Danriani, S.H. menerangkan bahwa surat penahanan telah diserahkan kepada adik kandung M yang hadir di lokasi dan tercatat dalam dokumentasi bukti ekspedisi serta foto serah terima. Penangkapan disebut berlangsung profesional, tanpa borgol, tanpa intimidasi, serta melibatkan tim Polwan sebagai bentuk penghormatan terhadap perempuan.

 

Penyidik juga menolak narasi yang menyebut adanya perlakuan tidak manusiawi saat proses membawa M ke Polsek Duri. Pihak penyidik menyatakan memiliki rekaman video sebagai bukti bahwa proses berlangsung sesuai prosedur tanpa kekerasan.

 

Namun demikian, penjelasan tersebut belum menghentikan tanda tanya publik, terutama terkait dugaan permintaan uang Rp10 juta oleh oknum penyidik, sebagaimana disampaikan Buha Purba, purnawirawan Polri sekaligus mertua M, yang mengaku menyaksikan langsung dugaan peristiwa tersebut.

 

Menanggapi hal itu, KOMPOL Dany Andhika Karya Gita, S.I.K., M.H. menyampaikan bantahan keras dan terbuka di hadapan media:

 

“Apalagi yang mungkin tidak enaknya itu kemarin penyampaian dari pihak keluarga Pak Purba, ada minta uang penyidik, minta Rp10 juta. Itu seperti apa? Jika memang ada bukti bahwa pihak keluarga memberikan uang, silakan tunjukkan. Siapa yang menerima? Tunjuk orangnya. Kalau ada bukti, kami siap bertanggung jawab. Jangan hanya menuduh tanpa dasar. Kalau perlu, silakan bawa Al-Quran sekalipun. Kami tidak pernah menerima sepeser pun.”

 

Ia menambahkan:

“Kalau ada yang minta, siapa? Tunjuk orangnya. Kalau ada yang menerima, siapa? Tunjuk orangnya. Suruh datang bapaknya ke sini. Ada empat saksi katanya mendengar. Silakan hadir dan tunjuk langsung. Kami fair.”

 

Dalam kesempatan yang sama, IPDA Danriani, S.H. menegaskan bahwa permohonan penangguhan penahanan tidak terkait transaksi uang:

“Penjaminan uang itu bukan kepada penyidik, tetapi kepada pengadilan. Itu aturan resmi. Jadi jangan disamakan. Penangguhan ini dilakukan karena alasan kemanusiaan, bukan karena kami menerima uang. Saya pribadi sakit hati jika dituduh seperti itu. Saya lillahi ta’ala menjalankan amanah ini.”

 

Menurut Danriani, persetujuan penangguhan penahanan justru memiliki risiko besar bagi penyidik:

“Satu bisa lari, menghilangkan barang bukti. Tapi pertimbangan pimpinan adalah kemanusiaan karena dua anak balita. Resikonya besar. Ini contohnya.”

 

Pada bagian penutup konferensi, Danriani menyampaikan secara emosional:

“Saya membantu dengan ikhlas. Lalu difitnah seperti ini, saya sakit hati jika disebut menerima uang hanya karena proses hukum tidak menyenangkan pihak tertentu.”

 

Wawancara kemudian kembali diarahkan kepada KOMPOL Dany Andhika Karya Gita, S.I.K., M.H., terkait kemungkinan penerapan Restorative Justice. Ia menegaskan bahwa Restorative Justice tidak dapat dijalankan tanpa adanya permohonan resmi dari pelapor maupun terlapor:

“Jika permohonan itu bukan berasal dari para pihak, kami tidak dapat mengambil inisiatif. Nanti justru kami dianggap memihak. Silakan ajukan secara resmi melalui surat permohonan, maka kami akan undang kedua belah pihak.”

 

Menutup sesi, pihak Humas menegaskan bahwa konferensi klarifikasi ini dilakukan untuk meluruskan informasi yang berkembang di ruang publik dan memastikan komitmen transparansi proses hukum. Seluruh bukti sah, termasuk rekaman video penangkapan, akan dibuka di pengadilan sebagai forum pembuktian resmi: siapa benar dan siapa salah akan diputus berdasarkan fakta persidangan.

Komentar Via Facebook :