DLH Dumai Diduga Tutup Mata, Warga Teriak Tersiksa Limbah B3,Pertarungan Hidup Mati

Dumai – Kota Dumai kini menjadi medan laga panas antara rakyat, pemerintah, dan korporasi. Warga Bukit Nenas, Kecamatan Bukit Kapur, berbulan-bulan terjerat derita: air sumur menghitam, bau busuk menusuk, kulit gatal, batuk tiada henti. Semua itu diduga bermula dari penimbunan limbah berbahaya Spent Bleaching Earth (SBE) yang dilakukan secara ilegal oleh CV Jasa Sahabat Abadi (JSA).
Alih-alih dilindungi, warga justru merasa diabaikan. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Dumai dituding menutup mata, tak kunjung bertindak tegas meski dampak limbah kian mencengkeram kehidupan masyarakat.
> “Dulu air sumur adalah sumber kehidupan kami. Kini sumur jadi racun. Anak-anak tersiksa, orang dewasa jatuh sakit. DLH jangan pura-pura tidak tahu, kami sedang jadi korban!” ungkap salah satu tokoh Aliansi Masyarakat Bukit Kapur, lantang di tengah kepungan bau limbah.
Fakta di Lapangan Dumping SBE di Pemukiman Warga
Tokoh aliansi menegaskan, tumpukan limbah berbahaya itu berdiri hanya sepelemparan batu dari rumah penduduk. Upaya mediasi gagal total karena pihak perusahaan CV JSA tak pernah hadir. Warga menuduh perusahaan lari dari tanggung jawab, sementara derita masyarakat kian parah.
Limbah yang ditimbun merupakan SBE – sisa proses bleaching industri sawit (CPO) menjadi minyak goreng dan oleokimia. SBE bukan limbah biasa: mudah terbakar, dapat mengandung logam berat seperti timbal, merkuri, kadmium, serta menimbulkan risiko pencemaran tanah, air, udara, dan kesehatan manusia dalam jangka panjang.
Regulasi Tegas: Dilarang Dumping Tanpa Izin
Merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor 6 Tahun 2021 dan Nomor 19 Tahun 2021, serta PP No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap perusahaan penghasil limbah B3 maupun non-B3 wajib mengelola sesuai standar teknis penyimpanan.
Bahkan menurut Permen LHK Nomor P.12/Menlhk/Setjen/Plb.3/5/2020, penyimpanan limbah B3 harus berizin resmi (Rintek). Fakta di Dumai justru terbalik: CV JSA diduga menimbun tanpa izin, menyalahi hukum, dan mencemari lingkungan.
UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diturunkan melalui PP No. 22/2021 memang mengubah status SBE. Namun tegas disebut: perusahaan tetap dilarang melakukan dumping ke media lingkungan hidup tanpa izin. Pelanggar dapat dijerat pidana 3 tahun penjara dan denda maksimal Rp 3 miliar.
> “Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini perbuatan pidana lingkungan. Kalau DLH Dumai berani, segera rekomendasikan penindakan hukum, bukan hanya rapat meja,” tegas tokoh aliansi.
Data dari Ditjen PSLB3 KLHK menunjukkan, setiap 60 juta ton produksi minyak sawit menghasilkan 600 ribu ton limbah SBE. Namun, jumlah pengelola resmi tak sebanding dengan volume limbah. Akibatnya, banyak yang memilih jalan pintas: dumping sembarangan.
SBE sebenarnya bisa dimanfaatkan lewat teknologi recovery – menjadi biodiesel, bahan baku semen, atau fresh bleaching earth. Namun di Dumai, limbah itu justru ditimbun tanpa pengolahan, dibiarkan mencemari kehidupan warga.
DLH Dumai kini menghadapi ujian terbesar: apakah berpihak pada keselamatan rakyat atau tunduk pada kepentingan perusahaan?
Publik menunggu, apakah DLH berani membuka investigasi terbuka, menutup lokasi dumping, dan menyeret CV JSA ke meja hijau, atau justru terus berdiam diri dalam jerat bisnis kotor.
> “Jangan tunggu warga jatuh korban lebih banyak. Ini kejahatan lingkungan yang nyata. DLH Dumai jangan jadi tameng perusahaan,” sorak aliansi, disambut pekik warga.
Warga Bukit Nenas menegaskan: jika pemerintah abai, gelombang perlawanan akan melebar lebih luas. Ini bukan sekadar protes, melainkan pertarungan hidup-mati generasi masa depan.
DLH vs CV JSA – Ini bukan hanya soal limbah. Ini soal martabat rakyat, keberanian negara, dan nasib lingkungan hidup di Kota Dumai.
Komentar Via Facebook :